Minggu, 15 Juni 2008

BLBI sebuah sknadal dalam lingkup pemerintahan

Namanya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia disingkat BLBI. Berarti sumbernya adalah Bank Indonesia.

Dana BLBI diberikan kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas atau bahkan bersaldo debet agar tetap dapat beroperasi. Kebijakan BLBI yang berupa kebijakan pemberian fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) dikeluarkan pada akhir Desember 1997 agar bank-bank tetap bertahan dan beroperasi karena efek negatif penutupan 16 bank pada November 1997.

Bank Indonesia menyalurkan BLBI ke bank-bank dalam bentuk saldo debet, fasilitas saldo debet, fasilitas diskonto I, fasilitas diskonto II, fasilitas SBPUK, new fasilitas diskonto, fasilitas dana talangan valas, dan fasilitas dana talangan rupiah.

Pada prinsipnya dana BLBI hanya boleh digunakan untuk membayar dana nasabah agar kepercayaan masyarakat terhadap bank pulih kembali. Ironisnya, Dana Moneter Internasional (IMF) disebut-sebut berada di belakang blunder ini. Pemerintah melalui Dewan Moneter kemudian menggodoknya, dengan BI sebagai pelaksana.

Menurut pakar perbankan, Eko B Supriyanto, jumlah BLBI yang diberikan kepada bank-bank yang dinilai bisa selamat dari kesulitan likuiditas akibat tekanan krisis (posisi 29 Januari 1999) sebesar Rp 144,536 triliun kepada 48 bank.

Perinciannya: 5 bank take-over (BTO) Rp 57,639 triliun, 10 bank beku operasi (BBO) Rp 57,687 triliun, 18 bank beku kegiatan usaha (BBKU) Rp 17,320 triliun, dan 15 bank dalam likuidasi (BDL) Rp 11,888 triliun. Jadi jumlah BLBI bukan Rp 650 triliun atau Rp 600 triliun seperti ditulis di media massa belakangan ini. Angka

Rp 650 triliun itu bukan kerugian, melainkan biaya krisis yang persisnya Rp 647 triliun yang terdiri atas Rp 144,536 triliun (BLBI), obligasi rekap (Rp 448,814 triliun), dan obligasi penjaminan (Rp53,780 triliun). Jumlah itu yang sudah dikembalikan oleh BPPN sebesar Rp 188,884 triliun dan Rp 18,805 triliun, yang diserahkan ke Perusahaan Pengelola Aset dan tidak termasuk penjualan saham bank-bank BUMN.

Presiden MegawatiPenanganan kasus BLBI memasuki babak baru, ketika pada 2002 lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan kebijakan Release and Discharge, yang intinya memberikan jaminan perlindungan terhadap tuntutan pidana kepada mereka yang telah dinyatakan melunasi utang dengan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL). Walaupun kenyataannya hasil penjualan lelang jauh di bawah nilai utangnya kepada negara.

Di masa pemerintahan SBY sekarang, Jaksa Agung telah menyiapkan 35 jaksa yang diklaim terbaik, untuk mencari celah baru dan menuntut para obligor. Langkah ini dapat diartikan bahwa pemerintah serius menyelesaikan kasus BLBI.

Apalagi, isu BLBI kerap lebih kental aroma politiknya daripada hukum, sehingga SBY harus berhitung ulang jika hanya bermain-main dengan kasus ini. Sebab, menjelang 2009, isu ini akan menjadi santapan empuk lawan politik SBY guna kepentingan masing-masing.

Kita juga patut curiga, apakah interpelasi BLBI DPR baru-baru ini terkait skenario kepentingan 2009? Jika ya, maka sekali lagi rakyat harus kecewa, karena apa yang terjadi di lembaga yang mewakili rakyat ternyata tak memiliki kaitan dengan kepentingan masyarakat. Bagi DPR sendiri, hak interpelasi sejatinya cukup sakral, dan harus dijadikan senjata pamungkas.

Namanya saja senjata pamungkas, maka ia hanya akan dikeluarkan jika kondisi sangat-sangat mendesak. Bukan seperti yang kita lihat di DPR selama ini, di mana senjata pamungkas interpelasi terlalu mudah dipakai tanpa memikirkan hasilnya. Makanya tak heran jika publik terlihat apatis terhadap sidang interpelasi DPR, karena hasilnya tak akan berbeda jauh dengan sidang-sidang reguler.

Tidak ada komentar: